SEJARAH BELANDA DI BENER MERIAH
Tulisan ini sebelumnya telah di publish dan dimuat di media lokal lintasgayo.co, dengan tulisan yang berbeda. Tulisan ini kembali hadir dengan versi JURNALISME INVESTIGASI untuk disampaikan kepada publik. Hanya saja judul serta sebagian besar isinya yang sudah diperbarui dan diubah. Maka berikut sekilas tempat atau sejarah mujahid dataran tinggi Gayo melakukan pertempuran didaerah Kabupaten Bener Meriah.
kehadiran Belanda datang ke Gayo membawa kesan sendiri
bagi para mujahid dataran tinggi Gayo dalam memperjuangkan kemerdekaan dan
kebebasan dari penjajah Belanda, salah satunya di Bur Kul, Kecamatan Bener
Kelipah Kabupaten Bener Meriah. Keberadaan Bur Kul yang dimaksudkan adalah
diantara kawasan lereng Lut Kucak, dan Gunung Merapi Burni Telong, Paya Rebol
Bener Meriah. Kurang lebih selama satu jam perjalanan dengan menggunakan jalan
kaki dari Paya Rebol.
Sejarawan Gayo alm. Dr
Mahmud Ibrahim MA mengungkapkan didalam bukunya Mujahid Dataran Tinggi Gayo,
bahwa diperkirakan tahun 1903 pasukan “muslimin” ini gugur dan syahid di
medan perang melawan pasukan tentara Belanda di Bur Kul ini. Dimana ketujuh
tokoh pasukan muslimin ini syahid ditembak mati oleh para tentara Belanda saat
sedang melangsungkan shalat. Belum diketahui pasti para suhada ini melakukan
shalat ashar atau shalat dzuhur secara berjamaah. Akan tetapi dalam buku
Mujahid Gayo hanya disebutkan bahwa “Di Bur Kul terjadi pertempuran antara pejuang
muslim dengan tentara Belanda, mengakibatkan tujuh orang pejuang gugur dan
dimakamkan disana. Salah seorang diantara pahlawan itu bernama Abu Kasim yang
tiga tahun sebelumnya hijrah dari Samalanga setelah benteng Bate Ilie di rebut
Belanda.” Tidak disebutkan siapa saja nama-nama sosok keenam mujahid
lainnya.
Seiring berjalannya
waktu dan penelitian, informasi yang ditulis oleh alm. Dr Mahmud Ibrahim MA
sudah membuka jalan pikiran bagi para generasi muda sejarawan Bener Meriah yang
mencoba meneliti kembali tragedi 1903 itu. Sehingga dipandang perlu untuk
dicatat dalam sejarah perjuangan Gayo-Aceh siapa saja nama-nama mujahid di Bur
Kul, Kecamatan Bener kelipah yang jauh dari pemukiman masyarakat pribumi
setempat, sembari melengkapi sejarah pejuang Gayo yang gugur di medan perang
khususnya di Negeri diatas angin, Bener Meriah.
Bertepatan
pada tanggal 7 April 2018 yang lalu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) The Gayo
Institute (TGI) Bener Meriah melakukan pendalaman konsep dan rancangan awal
penelitian mengenai sejarah “muslimin” ini. Penelitian ini juga diindikasikan
karena adanya keterkaitan sejarah yang diteliti dengan silsilah saudara dari
keluarga para mujahid Gayo yang masih hidup dan berdomisili di Kabupaten Bener
Meriah, khususnya di Kampung Tingkem, Gunung dan Jongok Reje Guru. Atas dasar
izin dan dukungan dari para ahli waris inilah, sehingga dilanjutkan untuk
menuliskan serta melakukan penelitian dengan mendalam dan serius, sehingga
menambah fakta sejarah mujahid Gayo yang cukup signifikan dalam membela Islam
di tanah air, Gayo.
Sekilas Terjadinya
Pertempuran
Setelah dilakukan konsep
yang matang oleh The Gayo Institute dan selanjutnya melakukan penelitian secara
perlahan ke berbagai sumber lini, lahir dan muncul-lah nama-nama mujahid
“muslimin” Gayo ini satu persatu dan sejarah terjadinya peperangan para
syahid melawan Belanda. Meskipun informasi yang didapatkan tidak konkrit
sepenuhnya, namun dapat dikatakan akurat berdasarkan dari berbagai sumber dan
fakta yang dihimpun oleh tim peneliti TGI Bener Meriah. Selain dari narasumber,
saat mendatangi tempat dimana para syahid ini dimakamkan, dapat dilihat dari
letak geografis dan kondisi hutan di Bur Kul memungkinkan adanya sebuah
pemukiman di daerah ini, karena dikatakan sebelumnya benar adanya sebuah
pemukiman di tempat tersebut.
Menariknya, kedatangan
para mujahid Gayo ke Bur Kul tersebut karena niat juang yang tinggi dan
menghindari adanya ekspansi atau teror yang dilakukan oleh pihak Belanda.
Agresi Belanda ini terus menerus memunculkan disintegrasi sosial, ekonomi dan
nilai agama kepada kalangan pribumi. Belum ada informasi lainnya mengenai
pribumi mana yang diteror oleh Belanda ini sehingga para syahid pergi ke Bur
Kul, namun yang dipastikan pribumi saat itu ada di beberapa bagian wilayah strategis,
diantaranya Samar Kilang, Telong kampung Delung Tue saat ini. Karena ditempat
ini memang tempat para pejuang untuk melakukan rapat dan juga mengatur
strategi. Sehingga para mujahid berinisiatif melakukan pembinaan agama, menempa
kekuatan fisik para pemuda yang kemudian bagian dari pasukan muslimin untuk
menghadang dan mengantisipasi pasukan. Para pejuang muslimin ini merekrut
generasi muda untuk dilatih agar siap dan sigap memerangi pasukan Belanda.
Suatu waktu Belanda tau
pergerakan serta maksud para syahid ini akan menghancurkan dan melawan kolonial
Belanda, hingga akhirnya pasukan Belanda mengetahui pergerakan dari kaum
muslimin, diperintahkan untuk mencari dan membunuh tokoh-tokoh mujahid Gayo
ini. Informasi yang didapatkan terjadi dua ekspansi penyergapan pasukan Belanda
terhadap mujahid Gayo, yang pertama masa pasukan Van Daleen (pemimpin ekspansi
dari utara keselatan Aceh) dan ekspansi kedua oleh pasukan Colijn
(pemimpin ekspansi dari timur ke barat Aceh). Pasukan Van Colijn yang
berpatroli di wilayah timur Aceh Tengah inilah yang melakukan pembantaian
terhadap ketujuh suhada dan juga puluhan nyawa lainnya yang belum diketahui
siapa-siapa saja mereka.
Ke-7 mujahid ini selain
Abu Kasim diantaranya adalah Pang Bin (Tengku Quransyah), Tengku Empun Badil
(Jemadil), Tengku Karang Ampar (Zainuddin), Tengku Empun Negri, Tengku Lebe
Rahi (Abdul Rahhi) dan Syeh Abu Kasim serta M Saleh. Namun informasi tentang
tokoh M. Saleh belum bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, dan masih dalam
tahap penelitian mendalam serta peninjauan narasumber sebagai tolak ukur
akuratnya informasi dalam melengkapi data penelitian.
Tepat pada hari
Minggu, tanggal 30 September 2018 yang lalu, tim penelitian bersama beberapa
ahli waris (penuntun arah dan tempat) melakukan ekspedisi dan survei ke lokasi
Bur Kul dimana keberadaan para Mujahid Gayo itu di semayamkan. Namun
sesampainya dilokasi sedikit menuai kekecewaan, pasalnya kondisi kuburan ini di
dapati tidak lagi seperti informasi awal yang diterima sebelumnya dari ahli waris,
melainkan telah berubah dan berbeda dari bayangan awal sesuai yang di ingat
oleh salah satu narasumber atau ahli waris. Didapati tiga makam saja yang
ditandai dengan batu-batu di sana. (Nama ahli waris)……satu ahli waris dan
garis keturunan Tengku Karang Ampar menuturkan bahwa kuburan itu tidak seperti
layaknya tahun 1988 yang teratur dan berjumlah tujuh makam yang dikuburkan
secara bersamaan serta tujuh batu penanda yang tersusun rapi dalam satu kuburan
layaknya lebar kuburan massal.
Setelah dilihat begitu
rusaknya ketujuh badan makam muslimin itu, hingga akhirnya para tim ekspedisi
dan tim peneliti melakukan dan perbaikan ulang terhadap kuburan itu
sebagaimana semula. Sebagai ahli waris dari para mujahid ini, memulai
ikhtiar dan mengingat kembali posisi makam ini.
Setelah
dilakukan pendalaman dan penggalian informasi lebih lanjut mengapa hanya tiga
tanda makam saja, salah satu warga paya Rebol (nama narasumber penjaga makam)
yang diamanahkan untuk menjaga makam ini mengatakan bahwa pada tahun 2006
lalu, ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang melakukan penggalian,
dan belum diketahui atas dasar apa membongkar dan menggali makam tersebut
sehingga merusak konstruk kuburan yang asli dan yang seharusnya. Disisi lain
ada yang mengatakan, mereka dating dan menggali makam tersebut dengan
tujuan mencari harta karun di wilayah makam setempat. Terkait hal ini akan
terus digali lebih lanjut oleh tim penelitian kedepannya. Meskipun demikian,
setidaknya pada kesempatan itu telah dikembalikan lagi makam tersebut
kepada bentuk semula sebagaimana sedia kala.
Harapan
Setelah dilakukan
penelitian lebih jauh, tentunya ada tujuan yang dapat memotivasi penelitian ini
khususnya dalam memperjuangkan agama Islam dan merebut kemerdekaan dan mencoba
mengusir pihak Belanda. Atas dasar ini, tim The Gayo Institute Kabupaten Bener Meriah
berharap agar makam ini menjadi prasasti makam sejarah layaknya makam Muyang
Kute di Belang Jorong, makam Datu Beru di Buntul Kubu Tunyang serta makam
pahlawan lainnya yang telah dikenal dalam catatan sejarah pernah
memperjuangkan Islam dan Kemerdekaan dari penjajah Belanda.
Merujuk pada
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 1. Disebutkan
bahwa Negara telah mengatur dan memberikan fasilitas untuk pemerintah yang
berwenang di setiap wilayah untuk pengelolaan, pelestarian, perlindungan,
penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan,
penelitian, revitalisasi, adaptasi, pemanfaatan, dan perbanyakan terhadap cagar
budaya yang memiliki nilai tinggi akan historisnya. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya pemerintah daerah Kabupaten Bener Meriah khususnya faham dan
mengambil langkah nyata untuk penyelamatan, zonasi dan pemeliharaan terhadap
makam tujuh suhada ini. Serta menjadi upaya pemerintah untuk
merealisasikan UU Cagar Budaya, guna melindungi nilai historis yang dimiliki
makam tujuh syuhada dan makam-makam lainnya.[]
*The Gayo Institute
atau TGI Bener Meriah merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di
Bener Meriah, berfokus pada penelitian budaya, khususnya peninggalan sejarah
dan juga pendidikan. Sebagai Penulis artikel ini adalah Marhamah (Ketua TGI
Bener Meriah, Anggota LSM Perempuan dan Gender Jangko), Altana (anggota
TGI Bener Meriah, Anggota FLP Takengon), dan Junaidi (Sekretaris TGI Bener
Meriah).
Comments
Post a Comment